JAKARTA - Pemulihan ekonomi Indonesia pada tahun mendatang dinilai akan semakin kuat berkat peningkatan kinerja sektor manufaktur, terutama industri logam dasar.
Sejumlah indikator menunjukkan bahwa sektor ini mulai menunjukkan pemulihan yang stabil. Pendorongnya berasal dari proyek pembangunan nasional, perbaikan permintaan dalam negeri, serta tren pemangkasan suku bunga yang memberikan ruang bagi bangkitnya sektor terkait lainnya.
Para analis melihat bahwa momentum positif ini menjadi modal penting dalam memperkuat fondasi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2026.
Kinerja Manufaktur Menguat Seiring Dorongan Proyek Nasional
Ekonom PT Bank Danamon Indonesia Tbk, Hosianna Evalita Situmorang, menyampaikan bahwa sektor manufaktur, khususnya industri logam dasar, mencatatkan perbaikan signifikan dan berpotensi menjadi mesin pertumbuhan ekonomi pada 2026.
Industri logam dasar mencakup produksi besi, baja, aluminium, tembaga, seng, dan timbal, yang merupakan komponen penting bagi industri konstruksi dan berbagai proyek pembangunan.
“Bisa dikaitkan nih misalnya dengan belanja fiskal pemerintah mulai mengucur, atau sektor prioritas PSN dikebut, atau sektor renovation dikebut, ini yang mungkin menjadi driver dari kinerja sektor basic metals,” kata Hosianna dalam keterangannya di Jakarta.
Ia menjelaskan bahwa tren perbaikan tersebut tercermin dari Prompt Manufacturing Index Bank Indonesia, yang menunjukkan bahwa kinerja manufaktur meningkat dari kuartal ke kuartal sepanjang tahun ini.
Sektor yang menunjukkan peningkatan paling konsisten adalah industri logam dasar, diikuti oleh sektor industri logam bukan mineral dan perangkat elektronik.
Perbaikan yang terjadi pada sektor manufaktur ini menjadi bagian dari berita pertama yang menggambarkan momentum yang tengah terbentuk dalam industri logam dasar. Kinerja sektor ini memberikan sinyal kuat bahwa aktivitas produksi terus bergeser ke arah pemulihan yang lebih kokoh.
Properti Mulai Bersiap Rebound Berkat Penurunan Suku Bunga
Selain sektor manufaktur, Hosianna turut menyoroti potensi kebangkitan sektor properti dan real estate yang selama beberapa tahun terakhir mencatatkan pertumbuhan kurang impresif.
Sejak kuartal awal 2022 hingga kuartal ketiga 2025, sektor ini mengalami tekanan akibat tingginya suku bunga, yang membuat masyarakat dan pelaku usaha lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan pembiayaan.
Dengan adanya pemangkasan BI-Rate, sektor properti diproyeksikan memasuki fase pemulihan baru. “Hal tersebut dikarenakan sektor yang kinerjanya paling tertekan biasanya memiliki potensi untuk melakukan rebound paling kuat setelah adanya pemangkasan suku bunga,” jelasnya.
Hosianna juga berharap penurunan suku bunga turut mendorong penyesuaian pada Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Ia meyakini bahwa apabila suku bunga KPR mengalami penurunan, tingkat penyerapan stok properti akan meningkat sehingga mendorong pemulihan sektor tersebut.
Perkembangan ini menjadi bagian dari berita kedua yang menunjukkan bagaimana kebijakan moneter dapat menjadi katalis bagi sektor-sektor yang sebelumnya mengalami tekanan.
Kebangkitan sektor properti akan memberi multiplier effect ke berbagai industri terkait, termasuk konstruksi, bahan bangunan, perangkat elektronik, dan tentu saja logam dasar sebagai salah satu bahan utama pembangunan.
Sektor Tumbuh Pesat Didukung Belanja Online dan Pemulihan Pariwisata
Selain manufaktur dan properti, fondasi ekonomi nasional saat ini juga diperkuat oleh sektor-sektor yang bertumbuh seiring perubahan pola konsumsi masyarakat dan pemulihan aktivitas publik.
Hosianna menilai bahwa pertumbuhan belanja online, normalisasi pariwisata pascapandemi, serta meningkatnya adopsi kecerdasan buatan turut memberi dampak positif bagi berbagai lini usaha.
Beragam sektor yang memperoleh manfaat dari perkembangan tersebut antara lain transportasi, makanan dan minuman, serta teknologi informasi dan komunikasi. Rata-rata pertumbuhan sektor-sektor ini berada pada kisaran lima hingga 13 persen, mencerminkan stabilitas permintaan dan peningkatan aktivitas masyarakat.
Sementara itu, sektor kesehatan, kelistrikan, dan ritel tetap berperan sebagai sektor defensif. Ketiga sektor ini menjaga kestabilan pertumbuhan perekonomian nasional di tengah berbagai tantangan global yang masih berlangsung. Stabilitas ini menjadi pilar dalam memastikan ketahanan ekonomi dalam jangka menengah.
Berita ketiga dalam rangkaian ini menggambarkan bagaimana kombinasi sektor-sektor yang berkembang pesat dan sektor-sektor defensif menciptakan keseimbangan dalam struktur perekonomian nasional.
Situasi ini memberikan ruang bagi kebijakan pemerintah untuk lebih efektif dalam mendorong pertumbuhan yang inklusif pada 2026.
Kebijakan Moneter Longgar Jadi Katalis Pertumbuhan 2026
Lebih lanjut, Hosianna menilai bahwa kombinasi kebijakan pelonggaran Bank Indonesia dan pemberian Insentif Likuiditas Makroprudensial akan menjadi katalis positif bagi dunia usaha.
“Pelonggaran kebijakan Bank Indonesia serta pemberian insentif KLM diperkirakan akan menurunkan biaya pendanaan, mendorong percepatan kredit modal kerja, dan menyokong belanja modal,” ujarnya.
Dengan biaya pendanaan yang lebih terjangkau, sektor industri akan memiliki ruang lebih luas untuk melakukan ekspansi, meningkatkan kapasitas produksi, dan memaksimalkan peluang yang muncul dari proyek strategis maupun kebutuhan pasar dalam negeri.
Langkah ini mendukung optimisme bahwa industri logam dasar yang sudah menunjukkan momentum positif akan memperkuat peranannya sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi pada 2026.
Melalui rangkaian perkembangan di sektor manufaktur, properti, serta industri sektor jasa dan perdagangan, prospek ekonomi Indonesia diyakini akan semakin solid.
Kehadiran kebijakan moneter yang kondusif dan peningkatan permintaan dari berbagai sektor memberi basis kuat bagi pemulihan dan pertumbuhan yang lebih inklusif pada tahun mendatang.